RajaBackLink.com

Biografi Buya Hamka, Sang Jurnalis dan Sastrawan dari Sumatera Barat

Biografi Buya Hamka

Ayo Berbahasa kali ini akan mengulas biografi Buya Hamka, seorang sastrawan Indonesia yang sudah menciptakan banyak karya. Selain dikenal sebagai seorang penulis karya sastra, Buya Hamka atau yang memiliki nama asli Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah juga merupakan seorang jurnalis, ulama, dan aktivitas Islam Indonesia. Beliau dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981.

Berliau juga pernah terjun ke dunia politik dengan menjadi bagian dari partai Masyumi hingga partai tersebut dibubarkan. Selain itu, Buya Hamka juga merupakan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Beliau juga aktif pada Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Nama beliau disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Biografi Buya Hamka dan Silsilah Keluarga

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah merupakan seorang anak pertama dari seorang ulama terkemuka bernama Abdul Karim Amrullah dengan seorang ibu yang bernama Syafiah. Istri Buya Hamka bernama Sitti Raham dan Sitti Khadijah dan dikaruniai 12 orang putra dan putri dari kedua istrinya, namun kini tinggal beberapa anak saja yang masih ada.

1. Masa Kecil Buya Hamka

Rumah Anduang Buya Hamka

Buya Hamka menghabiskan masa kecil di rumah anduangnya, nenek dari garis ibu. Bersama dengan teman-teman sebaya, Hamka kecil selalu bermain di Danau Maninjau dan mengikuti tradisi anak-anak laki-laki di Minangkabau, Malik (Buya Hamka) belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Baru pada usia 6 tahun, Malik belajar mengaji pada ayahnya sendiri dan pindah ke Padang Panjang.

Di dalam buku "Ayah" yang ditulis putra  Buya Hamka, Irfan Hamka, juga dijelaskan mengenai masa kecil dari ayahnya tersebut. Buya Hamka kecil dikenal sangat jahil dan sering mengganggu teman-temannya. Pernah ada suatu cerita ketika Buya Hamka, menjahili juniornya A Gaffar Ismail saat di Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi.

Gaffar Ismail diminta untuk memejamkan mata sembari membuka mulut. Buya Hamka pun menggosokkan leher dengan telunjuk sehingga ada daki sebesar biji jagung. Daki tersebut dimasukkan ke mulut juniornya yang menurut begitu saja. Memang, Hamka kecil terkenal sangat bandel menurut Taufiq Ismail. (Kalau yang ini jangan ditiru ya...).

Baca juga : kisah hidup Pramoedya Ananta Toer.

2. Perceraian Kedua Orang Tua Buya Hamka

Gambar ilustrasi perceraian

Masa kecil Malik tak selalu bahagia dan menyenangkan, dirinya pernah mendapati kenyataan pahit kedua orangtuanya yang bercerai ketika ia berusia 12 tahun. Sebenarnya ayah Malik merupakan seseorang yang taat beragama, namun tidak dengan ibunya yang masih menjalankan praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Karena perceraian kedua orang tuanya, membuat Malik sampai bolos sekolah berhari-hari. Hal ini membuat gurunya di Thawalib datang ke rumah untuk mengetahui keadaan Malik. Mengetahui Malik membolos, ayahnya pun marah dan menamparnya. Akhirnya keesokan harinya, ia kembali masuk sekolah seperti biasa karena takut dengan ayahnya. Kehidupan kan terus berjalan, perjalanan Malik masih panjang kedepannya dan tidak mungkin terus menerus larut dalam kesedihan.

Pernah suatu ketika ia mengetahui bahwa gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy membuka bibliotrk (perpustakaan sewa buku), membuat Malik sering menghabiskan waktunya untuk membaca. Ia sering membaca karya sastra terbitan Balai Pustaka, cerita China, dan karya terjemahan Arab. Seusai membaca, Malik menyalin ke buku tulisnya sesuai dengan versinya sendiri. Dari sinilah ketertarikannya terhadap dunia sastra dimulai.

3. Pendidikan Buya Hamka

Sumber gambar : JPNN.com

Pendidikan formal yang ditempuh Malik berawal ketika beliau berusia 7 tahun dan bersekolah di Sekolah Desa. Kemudian di tahun 1916, dibuka sekolah agama Diniyah School yang menggantikan sistem pendidikan surau. Malik mengambil kelas sore di sekolah tersebut. Malik sangat mencintai bahasa sehingga membuatnya cepat menguasai bahasa Arab.

Pada tahun 1918, Malik berhenti dari sekolah tersebut setelah melewati 3 tahun masa belajarnya. Selanjutnya ia dimasukkan ke Tawalib. Sekolah tersebut mewajibkan murid-muridnya untuk menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Namun karena sistem pembelajarannya yang mengandalkan hafalan membuat Malik merasa sangat jenuh dan sering bolos sekolah.

Di usianya yang masih 16 tahun, ia merantau ke Jawa guna menimba ilmu mengenai gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, RM Soerjopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Fakhruddin. Ketika itu, Buya Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.

Baca juga : pengertian bahasa menurut para ahli.

4. Karir Buya Hamka Sebagai Seorang Jurnalis

Bagaimanakah Buya Hamka menjadi seorang sastrawan yang notabene semasa mudanya lebih sering menempuh pendidikan Islam dibandingkan dengan pendidikan jurnalis? Ternyata, semua berawal dari kota Medan dimana beliau menulis artikel tentang pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk Pelita Andalas, koran milik orang Tionghoa. Dari artikel itulah, Buya Hamka menemukan suaranya sebagai seorang jurnalistik

Di tahun 1920-an beliau pernah menjadi seorang wartawan untuk beberapa surat kabar seperti Seruan Islam, Bintang Islam, Seruan Muhammadiyah, dan juga Pelita Andalas. 8 tahun berselang, Buya Hamka menjadi seorang editor majalah Kemajuan Masyarakat. Kemudian pada tahun 1932, Hamka menjadi editor sekaligus menerbitkan majalah Gema Islam, Panji Masyarakat, dan juga Pedoman Masyarakat.

5. Karya-karya Buya Hamka

Gambar via Gramedia.com

Beragam karya sastra telah diterbitkan oleh seorang Buya Hamka. Salah satu yang terkenal adalah "Di Bawah Lindungan Kakbah" yang pertama kali diterbitkan tahun 1938. Melalui novel tersebut, Buya Hamka menggugat penggolongan berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh masyarakat Minangkabau. Novel tersebut juga telah diangkat ke layar lebar pada 1981 dan 2011. Selain itu, berikut ini beberapa karya Buya Hamka yang  populer

  • Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
  • Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938)
  • Falsafah Hidup (1940)
  • Tafsir Al-Azhar (1965)
  • Merantau ke Deli (1941)
  • Tuan Direktur (1939)
  • 4 Bulan di Amerika (1952)
  • Dsb

Penutup

Memang Buya Hamka kini sudah tidak ada di dunia ini, namun karya-karyanya akan selalu menginspirasi begitupun dengan kehidupan dan sifat beliau. Bahkan bukan Indonesia saja yang menghargai beliau sebagai seorang sastrawan dan tokoh Islam, tetapi Malaysia dan Singapura pun turut menghargai jasanya. Sekian, dan semoga biografi Buya Hamka ini dapat memberikan inspirasi dan kita dapat memetik pelajaran dari kisah hidupnya. Terima kasih.
Indonesia Website Awards